Sejarah menginformasikan bahwa sebelum turunnya Al-Quran
terdapat sekian banyak peradaban besar, seperti Yunani,
Romawi. India, dan Cina. Dunia juga mengenal agama-agama
seperti Yahudi, Nasrani, Buddha, Zoroaster, dan sebagainya.
Masyarakat Yunani yang terkenal dengan pemikiran-pemikiran
filsafatnya, tidak banyak membicarakan hak dan kewajiban
wanita. Di kalangan elite mereka, wanita-wanita ditempatkan
(disekap) dalam istana-istana. Dan di kalangan bawah, nasib
wanita sangat menyedihkan. Mereka diperjualbelikan,
sedangkan yang berumah tangga sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan suaminya. Mereka tidak memiliki hak-hak sipil,
bahkan hak waris pun tidak ada. Pada puncak peradaban
Yunani, wanita diberi kebebasan sedemikian rupa untuk
memenuhi kebutuhan dan selera lelaki. Hubungan seksual yang
bebas tidak dianggap melanggar kesopanan, tempat-tempat
pelacuran menjadi pusat-pusat kegiatan politik dan
sastra/seni Patung-patung telanjang yang terlihat di
negara-negara Barat adalah bukti atau sisa pandangan itu.
Dalam pandangan mereka, dewa-dewa melakukan hubungan gelap
dengan rakyat bawahan, dan dari hubungan gelap itu lahirlah
"Dewi Cinta" yang terkenal dalam peradaban Yunani.
Dalam peradaban Romawi, wanita sepenuhnya berada di bawah
kekuasaan ayahnya. Setelah kawin, kekuasaan tersebut pindah
ke tangan sang suami. Kekuasaan ini mencakup kewenangan
menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh Keadaan tersebut
berlangsung terus sampai abad ke-6 Masehi. Segala hasil
usaha wanita, menjadi hak milik keluarganya yang laki-laki.
Pada zaman Kaisar Constantine terjadi sedikit perubahan
yaitu dengan diundangkannya hak pemilikan terbatas bagi
wanita, dengan catatan bahwa setiap transaksi harus
disetujui oleh keluarga (suami atau ayah).
Peradaban Hindu dan Cina tidak lebih baik dari
peradabanperadaban Yunani dan Romawi. Hak hidup seorang
wanita yang bersuami harus berakhir pada saat kematian
suaminya; istri harus dibakar hidup-hidup pada saat mayat
suaminya dibakar. Ini baru berakhir pada abad ke-17 Masehi.
Wanita pada masyarakat Hindu ketika itu sering dijadikan
sesajen bagi apa yang mereka namakan dewa-dewa. Petuah
sejarah kuno mereka me ngatakan bahwa "Racun, ular dan api
tidak lebih jahat daripada wanita." Sementara itu dalam
petuah Cina kuno diajarkan "Anda boleh mendengar pembicaraan
wanita tetapi sama sekali jangan mempercayai kebenarannya."
Dalam ajaran Yahudi, martabat wanita sama dengan pembantu.
Ayah berhak menjual anak perempuan kalau ia tidak mempunyai
saudara laki-laki. Ajaran mereka menganggap wanita sebagai
sumber laknat karena dialah yang menyebabkan Adam terusir
dari surga.
Dalam pandangan sementara pemuka/pengamat Nasrani ditemukan
bahwa wanita adalah senjata Iblis untuk menyesatkan manusia.
Pada abad ke-5 Masehi diselenggarakan suatu konsili yang
memperbincangkan apakah wanita mempunyai ruh atalu tidak,
Akhirnya terdapat kesimpulan bahwa wanita tidak mempunyai
ruh yang suci. Bahkan pada abad ke-6 Masehi disselenggarakan
suatu pertemuan untuk membahas apakah wanita manusia atau
bukan manusia. Dari pembahasan itu disimpulkan bahwa wanita
adalah manusia yang diciptakan semata-mata untuk melayani
laki-laki. Sepanjang abad pertengahan, nasib wanita tetap
sangat memprihatinkan, bahkan sampai tahun 1805
perundang-undangan Inggris mengakui hak suami untuk menjual
istrinya, dan sampai tahun 1882 wanita Inggris belum lagi
memiliki hak pemilikan harta benda secara penuh, dan hak
menuntut ke pengadilan.
Ketika Elizabeth Blackwill - yang merupakan dokter wanita
pertama di dunia - menyelesaikan studinya di Geneve
University pada tahun 1849, teman-temannya yang bertempat
tinggal dengannya memboikotnya dengan dalih bahwa wanita
tidak wajar memperoleh pelajaran, Bahkan ketika sementara
dokter bermaksud mendirikan Institut Kedokteran untuk wanita
di Philadelphia, Amerika Serikat, Ikatan Dokter setempat
mengancam untuk memboikot semua dokter yang bersedia
mengajar di sana.
Demikian selayang pandang kedudukan wanita sebelum,
menjelang, dan sesudah kehadiran Al-Quran. Nah, situasi dan
pandangan yang demikian tentunya tidak sejalan dengan
petunjuk-petunjuk Al-Quran. Disisi lain, sedikit atau banyak
pandangan demikian mempengaruhi pemahaman sementara pakar
terhadap redaksi petunjuk-petunjuk Al-Quran sebagaimana akan
disinggung berikut ini.
ASAL KEJADIAN PEREMPUAN
Berbicara mengenai kedudukan wanita, mengantarkan kita agar
terlebih dahulu mendudukkan pandangan Al-Quran tentang asal
kejadian perempuan. Dalam hal ini, salah satu ayat yang
dapat diangkat adalah firman Allah dalam surat Al-Hujurat
ayat 13,
"Wahai seluruh manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan
kamu (terdiri) dan lelaki dan perempuan, dan Kami jadikan
kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling
mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu
adalah yang paling bertakwa."
Ayat ini berbicara tentang asal kejadian manusia - dan
seorang lelaki dan perempuan - sekaligus berbicara tentang
kemuliaan manusia - baik lelaki maupun perempuan - yang
dasar kemuliaannya bukan keturunan, suku, atau jenis
kelamin, tetapi ketakwaan kepada Allah Swt. Memang, secara
tegas dapat dikatakan bahwa perempuan dalam pandangan
Al-Quran mempunyai kedudukan terhormat.
Dalam hal ini Mahmud Syaltut, mantan Syekh Al-Azhar, menulis
dalam bukunya Min Tawjihat Al-Islam bahwa,
"Tabiat kemanusiaan antara lelaki dan perempuan hampir dapat
(dikatakan) sama. Allah telah menganugerahkan kepada
perempuan- sebagaimana menganugerahkan kepada lelaki -
potensi dan kemampuan yang cukup untuk memikul tanggung
jawab, dan menjadikan kedua jenis kelamin ini dapat
melaksanakan aktivitas-aktivitas yang bersifat umum maupun
khusus. Karena itu, hukum-hukum syariat pun meletakkan
keduanya dalam satu kerangka. Yang ini (lelaki) menjual dan
membeli, mengawinkan dan kawin, melanggar dan dihukum,
menuntut dan menyaksikan, dan yang itu (perempuan) juga
demikian, dapat menjual dan membeli, mengawinkan dan kawin,
melanggar dan dihukum, serta menuntut dan menyaksikan."
Ayat Al-Quran yang populer dijadikan rujukan dalam
pembicaraan tentang asal kejadian perempuan adalah firman
Allah dalam surat An-Nisa, ayat 1:
"Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhanmu yang telah
menciptakan kamu dari nafs yang satu (sama), dan darinya
Allah menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Allah
memperkembang-biakkan lelaki dan perempuan yang banyak."
Banyak sekali pakar tafsir yang memahami kata nafs dengan
Adam, seperti misalnya Jalaluddin As-Suyuthi, Ibnu Katsir,
Al-Qurthubi, Al-Biqa'i, Abu As-Su'ud, dan lain-lain. Bahkan
At-Tabarsi, salah seorang ulama tafsir bermazhab Syi'ah
(abad ke-6 H) mengemukakan dalam tafsirnya bahwa seluruh
ulama tafsir sepakat mengartikan kata tersebut dengan Adam.
Beberapa pakar tafsir seperti Muhammad 'Abduh, dalam tafsir
Al-Manar, tidak berpendapat demikian; begitu juga rekannya
Al-Qasimi, Mereka memahami arti nafs dalam arti "jenis."
Namun demikian, paling tidak pendapat yang dikemukakan
pertama itu, seperti yang ditulis Tim Penerjemah Al-Quran
yang diterbitkan oleh Departemen Agama. adalah pendapat
mayoritas ulama.
Dari pandangan yang berpendapat bahwa nafs adalah Adam,
dipahami pula bahwa kata zaujaha, yang arti harfiahnya
adalah "pasangannya," mengacu kepada istri Adam, yaitu Hawa.
Agaknya karena ayat diatas menerangkan bahwa pasangan
tersebut diciptakan dari nafs yang berarti Adam, para
penafsir terdahulu memahami bahwa istri Adam (perempuan)
diciptakan dari Adam sendiri. Pandangan ini, kemudian
melahirkan pandangan negatif terhadap perempuan, dengan
menyatakan bahwa perempuan adalah bagian dari lelaki. Tanpa
lelaki, perempuan tidak akan ada. Al-Qurthubi, misalnya,
menekankan bahwa istri Adam itu diciptakan dari tulang rusuk
Adam sebelah kiri yang bengkok, dan karena itu "wanita
bersifat 'auja' (bengkok atau tidak lurus)."
Kitab-kitab tafsir terdahulu hampir sepakat mengartikannya
demikian- Pandangan ini agaknya bersumber dari sebuah hadis
yang menyatakan:
"Saling pesan-memesanlah untuk berbuat baik kepada
perempuan, karena mereka diciptakan dari tulang rusuk yang
bengkok... (HR At-Tirmidzi dari Abu Hurairah).
Hadis diatas dipahami oleh ulama-ulama terdahulu secara
harfiah. Namun tidak sedikit ulama kontemporer memahaminya
secara metafora, bahkan ada yang menolak kesahihan
(kebenaran) hadis tersebut.
Yang memahami secara metafora berpendapat bahwa hadis diatas
memperingatkan para lelaki agar menghadapi perempuan dengan
bijaksana, karena ada sifat, karakter, dan kecenderungan
mereka yang tidak sama dengan lelaki - hal mana bila tidak
disadari akan dapat mengantarkan kaum lelaki bersikap tidak
wajar. Mereka tidak akan mampu mengubah karakter dan sifat
bawaan perempuan, kalaupun mereka berusaha akibatnya akan
fatal, sebagaimana fatalnya meluruskan tulang rusuk yang
bengkok.
Ath-Thabathaba'i dalam tafsirnya menulis, bahwa ayat diatas
menegaskan bahwa "perempuan (istri Adam) diciptakan dari
jenis yang sama dengan Adam, dan ayat tersebut sedikit pun
tidak mendukung paham sementara mufasir yang beranggapan
bahwa perempuan diciptakan dari tulung rusuk Adam. Kita
dapat berkata, bahwa tidak ada satu petunjuk yang pasti dari
ayat Al-Quran yang dapat mengantarkan kita untuk menyatakan
bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk, atau bahwa
unsur penciptaannya berbeda dengan lelaki. Ide ini, seperti
ditulis Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar-nya, timbul dan
ide yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II:
21-22) yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka
diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu
ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka dari
tulang yang telah dikeluarkan dan Adam itu, dibuat Tuhan
seorang perempuan.
"Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa
dalam Kitab Perjanjian Lama seperti redaksi diatas, niscaya
pendapat yang menyatakan bahwa wanita diciptakan dari tulang
rusuk Adam tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang
Muslim," demikian Rasyid Ridha- (Tafsir Al-Manar IV: 330)
Bahkan kita dapat berkata bahwa sekian banyak teks keagamaan
mendukung pendapat yang menekankan persamaan unsur kejadian
Adam dan Hawa, dan persamaan kedudukannya, antara lain surat
Al-Isra' ayat 70,
"Sesungguhnya Kami telah memuliakan anak-anak Adam, Kami
angkut mereka di daratan dan di lautan (untuk memudahkan
mereka mencari kehidupan). Kami beri mereka rezeki yang
baik-baik, dan Kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang
sempuma atas kebanyakan makhluk-makhluk yang Kami ciptakan."
Tentu, kalimat anak-anak Adam mencakup lelaki dan perempuan,
Demikian pula penghorrnatan Tuhan yang diberikan-Nya itu
mencakup anak-anak Adam seluruhnya, baik perempuan maupun
lelaki. Pemahaman ini dipertegas oleh surat Ali-Imran ayat
195 yang menyatakan,
"Sebagian kamu adalah bagian dari sebagian yang lain ..."
Ini dalam arti bahwa sebagian kamu (hai umat manusia yang
berjenis lelaki) berasal dari pertemuan ovum perempuan dan
sperma lelaki dan sebagian yang lain (hai umat manusia yang
berjenis perempuan) demikian juga halnya. Kedua jenis
kelamin ini sama-sama manusia, dan tidak ada perbedaan
diantara mereka dari segi asal kejadian serta
kemanusiaannya.
Dengan konsiderans ini, Tuhan menegaskan bahwa:
Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang
beramal, baik lelaki maupun perempuan (QS Ali 'Imran [3]:
195)
Ayat ini dan semacamnya adalah usaha Al-Quran untuk mengikis
habis segala pandangan yang membedakan lelaki dengan
perempuan, khususnya dalam bidang kemanusiaan.
Dalam konteks pembicaraan tentang asal kejadian ini,
sementara ulama menyinggung bahwa seandainya bukan karena
Hawa, niscaya kita tetap akan berada di surga. Disini sekali
lagi ditemukan semacam upaya mempersalahkan perempuan.
Pandangan semacam itu jelas sekali keliru, bukan saja karena
sejak semula Allah telah menyampaikan rencana-Nya untuk
menugaskan manusia sebagai khalifah di bumi (QS 2: 30),
tetapi juga karena dari ayat-ayat Al-Quran ditemukan bahwa
godaan dan rayuan Iblis itu tidak hanya tertuju kepada
perempuan (Hawa) tetapi juga kepada lelaki. Ayat-ayat yang
membicarakan godaan, rayuan setan, serta ketergelinciran
Adam dan Hawa diungkapkan dalam bentuk kata yang menunjukkan
kesamaan keduanya tanpa perbedaan, seperti,
Maka setan membisikkan pikiran jahat kepada keduanya...
(QS, Al-A'raf [7]: 20).
Lalu keduanya digelincirkan oleh setan dan surga itu, dan
keduanya dikeluarkan dari keadaan yang mereka (nikmati)
sebelumnya... (QS Al-Baqarah [2]: 36).
Kalaupun ada ayat yang membicarakan godaan atau rayuan setan
berbentuk tunggal, maka ayat itu justru menunjuk kepada kaum
lelaki (Adam), yang bertindak sebagai pemimpin terhadap
istrinya, seperti dalam firman Allah,
Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepadanya (Adam),
dan berkata, "Hai Adam, maukah saya tunjukkan kepadamu pohon
khuldi dan kerajaan yang tidak akan punah?" (QS Thaha [20]:
120).
Demikian terlihat Al-Quran mendudukkan perempuan pada tempat
yang sewajarnya, serta meluruskan segala pandangan salah dan
keliru yang berkaitan dengan kedudukan dan asal kejadian
kaum perempuan.
HAK-HAK PEREMPUAN
Al-Quran berbicara tentang perempuan dalam berbagai surat,
dan pembicaraan tersebut menyangkut berbagai sisi kehidupan.
Ada ayat yang berbicara tentang hak dan kewajibannya, ada
pula yang menguraikan keistimewaan tokoh-tokoh perempuan
dalam sejarah agama dan kemanusiaan.
Secara umum surat An-Nisa' ayat 32 menunjukkan hak-hak
perempuan:
"(Karena) bagi lelaki dianugerahkan hak (bagian) dan apa
yang diusahakannya, dan bagi perempuan dianugerahkan hak
(bagian) dan apa yang diusahakannya."
Berikut ini akan dikemukakan beberapa hak yang dimiliki oleh
kaum perempuan menurut pandangan ajaran Islam.
Hak-hak perempuan di luar rumah
Pembahasan menyangkut keberadaan perempuan di dalam atau di
luar rumah dapat bermula dari surat Al-Ahzab ayat 33, yang
antara lain berbunyi,
"Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu, dan janganlah kamu
berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliah
terdahulu."
Ayat ini seringkali dijadikan dasar untuk menghalangi wanita
ke luar rumah. Al-Qurthubi (w 671 H) - yang dikenal sebagai
salah seorang pakar tafsir khususnya dalam bidang hukum -
menulis antara lain: "Makna ayat di atas adalah perintah
untuk menetap di rumah, Walaupun redaksi ayat ini ditujukan
kepada istri-istri Nabi Muhammad Saw., tetapi selain dari
mereka juga tercakup dalam perintah tersebut." Selanjutnya
mufasir tersebut menegaskan bahwa agama dipenuhi oleh
tuntunan agar Wanita-wanita tinggal di rumah, dan tidak ke
luar rumah kecuali karena keadaan darurat.
Pendapat yang sama dikemukakan juga oleh Ibnu Al-'Arabi
(1076 - 1148 M) dalam tafsir Ayat-ayat Al-Ahkam-nya.
Sementara itu, penafsiran Ibnu Katsir lebih moderat.
Menurutnya ayat tersebut merupakan larangan bagi wanita
untuk keluar rumah, jika tidak ada kebutuhan yang dibenarkan
agama, seperti shalat, misalnya.
Al-Maududi, pemikir Muslim Pakistan kontemporer menganut
paham yang mirip dengan pendapat di atas. Dalam bukunya
Al-Hijab, ulama ini antara lain menulis bahwa para ahli
qiraat dari Madinah dan sebagian ulama Kufah membaca ayat
tersebut dengan waqarna; dan bila dibaca demikian, berarti,
"tinggallah di rumah kalian dan tetaplah berada di sana."
Sementara itu, ulama-ulama Bashrah dan Kufah membacanya
waqimah dalam arti, "tinggallah di rumah kalian dengan
tenang dan hormat." Sedangkan tabarruj yang dilarang oleh
ayat ini adalah "menampakkan perhiasan dan keindahan atau
keangkuhan dan kegenitan berjalan."
Selanjutnya Al-Maududi menjelaskan bahwa:
Tempat wanita adalah di rumah, mereka tidak dibebaskan dari
pekerjaan luar rumah kecuali agar mereka selalu berada di
rumah dengan tenang dan hormat, sehingga mereka dapat
melaksanakan kewajiban rumah tangga. Adapun kalau ada hajat
keperluannya untuk keluar, maka boleh saja mereka keluar
rumah dengan syarat memperhatikan segi kesucian diri dan
memelihara rasa malu.
Terbaca bahwa Al-Maududi tidak menggunakan kata "darurat"
tetapi "kebutuhan atau keperluan." Hal serupa dikemukakan
oleh Tim yang menyusun tafsir yang diterbitkan oleh
Departemen Agama RI. Ini berarti bahwa ada peluang bagi
wanita untuk keluar rumah. Persoalannya adalah dalam
batas-batas apa saja izin tersebut? Misalnya, "Bolehkah
mereka bekerja?"
Muhammad Quthb, salah seorang pemikir Ikhwan Al-Muslimun
menulis, dalam bukunya Ma'rakat At-Taqalid, bahwa "ayat itu
bukan berarti bahwa wanita tidak boleh bekerja karena Islam
tidak melarang wanita bekerja. Hanya saja Islam tidak
mendorong hal tersebut, Islam membenarkan mereka bekerja
sebagai darurat dan tidak menjadikannya sebagai dasar."
Dalam bukunya Syubuhat Haula Al-Islam, Muhammad Quthb lebih
jauh menjelaskan:
Perempuan pada awal zaman Islam pun bekerja, ketika kondisi
menuntut mereka untuk bekerja. Masalahnya bukan terletak
pada ada atau tidaknya hak mereka untuk bekerja, masalahnya
adalah bahwa Islam tidak cenderung mendorong wanita keluar
rumah kecuali untuk pekerjaan-pekerjaan yang sangat perlu,
yang dibutuhkan oleh masyarakat, atau atas dasar kebutuhan
wanita tertentu. Misalnya kebutuhan untuk bekerja karena
tidak ada yang membiayai hidupnya, atau karena yang
menanggung hidupnya tidak mampu mencukupi kebutuhannya.
Sayyid Quthb, dalam tafsirnya Fi Zhilal Al-Quran menulis
bahwa arti waqarna dalam firman Allah, Waqarna fi
buyutikunna, berarti, "Berat, mantap, dan menetap." Tetapi,
tulisnya lebih jauh, ,'Ini bukan berarti bahwa mereka tidak
boleh meninggalkan rumah. Ini mengisyaratkan bahwa rumah
tangga adalah tugas pokoknya, sedangkan selain itu adalah
tempat ia tidak menetap atau bukan tugas pokoknya."
Sa'id Hawa salah seorang ulama Mesir kontemporer -
memberikan contoh tentang apa yang dimaksud dengan
kebutuhan, seperti mengunjungi orang tua dan belajar yang
sifatnya fardhu 'ain atau kifayah, dan bekerja untuk
memenuhi kebutuhan hidup karena tidak ada orang yang dapat
menanggungnya.
IsaAbduh, seorang ulama-ekonom Muslim Mesir, menekankan
bahwa surat Thaha ayat 117 memberikan isyarat bahwa Al-Quran
meletakkan kewajiban mencari nafkah di atas pundak lelaki
dan bukan perempuan. Ayat yang dimaksud adalah:
"Maka Kami berfirman, "Wahai Adam, sesunggahnya ini (Iblis)
adalah musuh bagimu dan bagi istrimu, maka sekali-kali
janganlah sampai ia mengeluarkan kamu berdua dari surga,
yang akan menyebabkan engkau (dalam bentuk tunggal untuk
pria) bersusah payah."
Yakni bersusah payah dalam memenuhi kebutuhan sandang, papan
dan pangan, sebagaimana disebutkan dalam lanjutan ayat
tersebut.
Menurut Isa Abduh, penggunaan bentuk tunggal pada redaksi
engkau bersusah-payah memberikan isyarat bahwa kewajiban
bekerja untuk memenuhi kebutuhan istri dan anak-anak
terletak di atas pundak suami atau ayah.
Pendapat para pemikir Islam kontemporer di atas, masih
dikembangkan lagi oleh sekian banyak pemikir Muslim, dengan
menelaah keterlibatan perempuan dalam pekerjaan pada masa
Nabi Saw., sahabat-sahabat beliau, dan para tabiiin. Dalam
hal ini, ditemukan sekian banyak jenis dan ragam pekerjaan
yang dilakukan oleh kaum wanita.
Nama-nama seperti Ummu Salamah (istri Nabi), Shafiyah, Laila
Al-Ghaffariyah, Ummu Sinam Al-Aslamiyah, dan lain-lain,
tercatat sebagai tokoh-tokoh yang terlibat dalam peperangan.
Ahli hadis Imam Bukhari, membukukan bab-bab dalam kitab
Shahih-nya tentang kegiatan kaum wanita, seperti: "Bab
Keterlibatan Perempuan dalam Jihad," "Bab Peperangan
Perempuan di Lautan," "Bab Keterlibatan Perempuan Merawat
Korban," dan lain-lain .
Disamping itu, para perempuan pada masa Nabi Saw. aktif pula
dalam berbagai bidang pekerjaan. Ada yang bekerja sebagai
perias pengantin seperti Ummu Salim binti Malhan yang merias
antara lain Shafiyah binti Huyay, istri Nabi Muhammad Saw.,
serta ada juga yang menjadi perawat, bidan, dan sebagainya.
Dalam bidang perdagangan, nama istri Nabi yang pertama,
Khadijah binti Khuwailid, tercatat sebagai seorang perempuan
yang sangat sukses. Demikian juga Qilat Ummi Bani Anmar yang
tercatat sebagai seorang perempuan yang pernah datang kepada
Nabi meminta petunjuk-petunjuk jual-beli. Zainab binti Jahsy
juga aktif bekerja menyamak kulit binatang, dan hasil
usahanya itu beliau sedekahkan.
Raithah, istri sahabat Nabi yang bernama Abdullah Ibnu
Mas'ud, sangat aktif bekerja, karena suami dan anaknya
ketika itu tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup keluarga
ini. Sementara itu, Al-Syifa', seorang perempuan yang pandai
menulis, ditugaskan oleh Khalifah Umar r.a. sebagai petugas
yang menangani pasar kota Madinah.
Demikian sedikit dari banyak contoh yang terjadi pada masa
Rasulullah Saw., dan sahabat beliau, menyangkut
keikutsertaan perempuan dalam berbagai bidang usaha dan
pekerjaan.
Tentu saja tidak semua bentuk dan ragam pekerjaan yang
terdapat pada masa kini telah ada pada masa Nabi Saw. Namun,
betapapun, sebagian ulama menyimpulkan bahwa Islam
membenarkan kaum wanita aktif dalam berbagai kegiatan, atau
bekerja dalam berbagai bidang di dalam maupun di luar
rumahnya secara mandiri, bersama orang lain, atau dengan
lembaga pemerintah maupun swasta, selama pekerjaan tersebut
dilakukan dalam suasana terhormat, sopan, serta mereka dapat
memelihara agamanya, dan dapat pula menghindarkan
dampak-dampak negatif pekerjaan tersebut terhadap diri dan
lingkungannya.
Secara singkat dapat dikemukakan rumusan menyangkut
pekerjaan perempuan, yaitu perempuan mempunyai hak untuk
bekerja, selama ia membutuhkannya, atau pekerjaan itu
membutuhkannya dan selama norma-norma agama dan susila tetap
terpelihara.
HAK DAN KEWAJIBAN BELAJAR
Amat banyak ayat Al-Quran dan hadis Nabi Saw. yang berbicara
tentang kewajiban belajar, baik kewajiban tersebut ditujukan
kepada lelaki maupun perempuan, di antaranya,
"Menuntut ilmu adalah kewajiban setiap Muslim (dan
Muslimah)" (HR Al-Thabarani melalui Ibnu Mas'ud)
Para perempuan di zaman Nabi Saw. menyadari benar kewajiban
ini, sehingga mereka memohon kepada Nabi agar beliau
bersedia menyisihkan waktu tertentu dan khusus untuk mereka
agar dapat menuntut ilmu pengetahuan. Permohonan ini tentu
saja dikabulkan oleh Nabi Muhammad Saw.
Al-Quran memberikan pujian kepada ulul albab, yang berzikir
dan memikirkan kejadian langit dan bumi. Zikir dan pemikiran
menyangkut hal tersebut mengantarkan manusia mengetahui
rahasia-rahasia alam raya. Mereka yang dinamai ulul albab
tidak terbatas pada kaum lelaki saja, melainkan juga kaum
perempuan. Hal ini terbukti dari lanjutan ayat di atas, yang
menguraikan tentang sifat-sifat ulul albab, Al-Quran
menegaskan bahwa:
"Maka Tuhan mereka mengabulkan permohonan mereka dengan
berfirman, "Sesunggahnya Aku tidak akan menyia-nyiakan amal
orang-orang yang beramal di antara kamu, baik lelaki maupun
perempuan." (QS Ali 'Imran [3]: 195) .
Ini berarti bahwa kaum perempuan dapat berpikir,
mempelajari, dan kemudian mengamalkan apa yang mereka hayati
setelah berzikir kepada Allah serta apa yang mereka ketahui
dari alam raya ini.
Pengetahuan tentang alam raya tentunya berkaitan dengan
berbagai disiplin ilmu, sehingga dari ayat ini dapat
dipahami bahwa perempuan bebas untuk mempelajari apa saja,
sesuai dengan keinginan dan kecenderungan masing-masing.
Sejarah membuktikan bahwa banyak wanita yang sangat menonjol
pengetahuannya dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan,
sehingga menjadi rujukan sekian banyak tokoh lelaki.
Istri Nabi, Aisyah r.a., adalah salah seorang yang mempunyai
pengetahuan sangat dalam serta termasyhur pula sebagai
seorang kritikus, sampai-sampai ada ungkapan terkenal yang
dinisbahkan oleh sementara ulama sebagai pernyataan Nabi
Muhammad Saw.:
Ambillah setengah pengetahuan agama kalian dari Al-Humaira,
(yakni Aisyah).
Demikian juga As-Sayyidah Sakinah putri Al-Husain bin Ali
bin Abi Thalib. Kemudian, Al-Syaikhah Syuhrah yang bergelar
"Fakhr Al-Nisa', (Kebanggaan Perempuan) adalah salah seorang
guru Imam Syafi'i, tokoh mazhab yang pandangan-pandangannya
menjadi anutan banyak umat Islam di seluruh dunia. Dan masih
banyak lagi yang lainnya.
Beberapa wanita lain mempunyai kedudukan ilmiah yang sangat
terhormat, misalnya Al-Khansa' dan Rabi'ah Al-Adawiyah.
Rasulullah Saw. tidak membatasi kewajiban belajar hanya
kepada perempuan-perempuan merdeka (yang memiliki status
sosial tinggi), tetapi juga para budak belian dan mereka
yang bersatus sosial rendah. Karena itu sejarah mencatat
sekian banyak perempuan yang tadinya budak belian kemudian
mencapai tingkat pendidikan yang sangat tinggi.
Al-Muqari dalam bukunya Nafhu Ath-Thib, sebagaimana dikutip
oleh Dr. Abdul Wahid Wafi, memberitakan bahwa Ibnu
Al-Mutharraf, seorang pakar bahasa pada masanya, pernah
mengajarkan seorang perempuan liku-liku bahasa Arab.
Sehingga sang wanita pada akhirnya memiliki kemampuan yang
melebihi gurunya sendiri, khususnya dalam bidang puisi,
sampai ia dikenal dengan nama Al-'Arudhiyat karena
keahliannya dalam bidang ini.
Harus diakui hahwa pembidangan ilmu pada masa awal Islam
belum sebanyak dan seluas sekarang ini. Namun Islam tidak
membedakan satu disiplin ilmu dengan disiplin ilmu lainnya,
sehingga seandainya mereka yang disebut namanya di atas
hidup pada masa kini, tidak mustahil mereka akan tekun pula
mempelajari disiplin-disiplin ilmu yang berkembang dewasa
ini.
Dalam hal ini Syaikh Muhammad Abduh menulis:
Kalaulah kewajiban perempuan mempelajari hukum-hukum akidah
kelihatannya amat terbatas, sesungguhnya kewajiban mereka
untuk mempelajari hal-hal yang berkaitan dengan rumah
tcelgga, pendidikan anak, dan sebagainya, merupakan
persoalan-persoalan duniawi (dan yang berbeda sesuai dengan
perbedaan waktu, tempat, dan kondisi) jauh lebih banyak
daripada soal-soal akidah atau keagamaan.
Demikianlah sekilas menyangkut hak dan kewajiban perempuan
dalam bidang pendidikan. Kalau demikian halnya, mengapa
timbul pandangan yang membatasi wanita untuk belajar? Sekali
lagi, salah satu penyebabnya adalah ayat waqarna fi
buyutikunna yang dikemukakan di atas.
PERANAN ISTRI DALAM RUMAH TANGGA
Berbicara mengenai hal ini, ayat Ar-rijalu qawammuna 'alan
nisa' biasanya dijadikan sebagai salah satu rujukan, karena
ayat tersebut berbicara tentang pembagian kerja antara
suami-istri. Memahami pesan ayat ini, mengundang kita untuk
menggarisbawahi terlebih dahulu dua butir prinsip yang
melandasi hak dan kewajiban suami-istri:
1. Terdapat perbedaan antara pria dan wanita, bukan hanya
pada bentuk fisik mereka, tetapi juga dalam bidang psikis.
Bahkan menurut Dr. Alexis Carrel salah seorang dokter yang
pernah meraih dua kali hadiah Nobel -perbedaan tersebut
berkaitan juga dengan kelenjar dan darah masing-masing
kelamin.
Pembagian harta, hak, dan kewajiban yang ditetapkan agama
terhadap kedua jenis manusia itu didasarkan oleh
perbedaan-perbedaan itu.
2. Pola pembagian kerja yang ditetapkan agama tidak
menjadikan salah satu pihak bebas dan tuntutan - minimal
dari segi moral - untuk membantu pasangannya.
Dalam surat Al-Baqarah ayat 228 dinyatakan,
"Bagi lelaki (suami) terhadap mereka (wanita/istri) satu
derajat (lebih tinggi)."
Derajat lebih tinggi yang dimaksud dalam ayat di atas
dijelaskan oleh surat An-Nisa' ayat 34, yang menyatakan
bahwa "lelaki (suami) adalah pemimpin terhadap perempuan
(istri)."
Kepemimpinan untuk setiap unit merupakan hal yang mutlak,
lebih-lebih bagi setiap keluarga, karena mereka selalu
bersama, serta merasa memiliki pasangan dan keluarga,
Persoalan yang dihadapi suami-istri, muncul dari sikap jiwa
manusia yang tercermin dari keceriaan atau cemberutnya
wajah. Sehingga persesuaian dan perselisihan dapat muncul
seketika, tetapi boleh juga sirna seketika dan dimana pun.
Kondisi seperti ini membutuhkan adanya seorang pemimpin yang
melebihi kebutuhan suatu perusahaan yang sekadar bergelut
dengan angka, dan bukannya dengan perasaaan serta diikat
oleh perjanjian yang bisa diselesaikan melalui pengadilan.
Hak kepemimpinan menurut Al-Quran seperti yang dikutip dari
ayat di atas, dibebankan kepada suami. Pembebanan itu
disebabkan oleh dua hal, yaitu:
a. Adanva sifat-sifat fisik dan psikis pada suami yang lebih
dapat menunjang suksesnya kepemimpinan rumah tangga jika
dibandingkan dengan istri.
b. Adanya kewajiban memberi nafkah kepada istri dan anggota
keluarganya.
Ibnu Hazm - seorang ahli hukum Islam - berpendapat bahwa
wanita pada dasarnya tidak berkewajiban melayani suami dalam
hal menyediakan makanan, menjahit, dan sebagainya. Justru
sang suamilah yang berkewajiban menyiapkan pakaian jadi, dan
makanan yang siap dimakan untuk istri dan anak-anaknya.
Walaupun diakui dalam kenyataan terdapat istri-istri yang
memiliki kemampuan berpikir dan materi melebihi kemampuan
suami, tetapi semua itu merupakan kasus yang tidak dapat
dijadikan dasar untuk menetapkan suatu kaidah yang bersifat
umum
Sekali lagi perlu digarisbawahi bahwa pembagian kerja ini
tidak membebaskan masing-masing pasangan - paling tidak dari
segi kewajiban moral - untuk membantu pasangannya dalam hal
yang berkaitan dengan kewajiban masing-masing. Dalam hal ini
Abu Tsaur, seorang pakar hukum Islam, berpendapat bahwa
seorang istri hendaknya membantu suaminya dalam segala hal.
Salah satu alasan yang dikemukakannya adalah bahwa Asma,
putri Khalifah Abu Bakar, menjelaskan bahwasanya ia dibantu
oleh suaminya dalam mengurus rumah tangga, tetapi Asma, juga
membantu suaminya antara lain dalam memelihara kuda
suaminya, menyabit rumput, menanam benih di kebun, dan
sebagainya.
Tentu saja di balik kewajiban suami tersebut, suami juga
mempunyai hak-hak yang harus dipenuhi oleh istrinya. Suami
wajib ditaati selama tidak bertentangan dengan ajaran agama
dan hak pribadi sang istri. Sedemikian penting kewajiban
ini, sampai-sampai Rasulullah Saw. bersabda, "Seandainya aku
memerintahkan seseorang untuk sujud kepada seseorang,
niscaya akan kuperintahkan para istri untuk sujud kepada
suaminya." Bahkan Islam juga melarang seorang istri berpuasa
sunnah tanpa seizin suaminya. Hal ini disebabkan karena
seorang suami mempunyai hak untuk memenuhi naluri
seksualnya.
Dapat ditambahkan bahwa Rasulullah Saw. menegaskan bahwa
seorang istri memimpin rumah tangga dan bertanggung Jawab
atas keuangan suaminya. Pertanggungjawaban tersebut terlihat
dalam tugas-tugas yang harus dipenuhi, serta peran yang
diembannya saat memelihara rumah tangga, baik dari segi
kebersihan, keserasian tata ruang, pengaturan menu makanan,
maupun pada keseimbangan anggaran. Bahkan pun istri ikut
bertanggung jawab - bersama suami - untuk menciptakan
ketenangan bagi seluruh anggota keluarga, misalnya, untuk
tidak menerima tamu pria atau wanita yang tidak disenangi
oleh sang suami. Pada tugas-tugas rumah tangga inilah
Rasulullah Saw. membenarkan seorang istri melayani bersama
suaminya tamu pria yang mengunjungi rumahnya.
Pada konteks inilah perintah Al-Quran harus dipahami agar
para istri berada di rumah.
Firman Allah waqarna fi buyutikunna (Dan tetaplah tinggal
berdiam di rumah kalian) dalam surat Al-Ahzab ayat 33,
menurut kalimatnya ditujukan untuk istri-istri Nabi kendati
dapat dipahami sebagai acuan kepada semua wanita. Namun
tidak berarti bahwa wanita harus terus-menerus berada di
rumah dan tidak diperkenalkan keluar, melainkan
mengisyaratkan bahwa tugas pokok yang harus diemban oleh
seorang istri adalah memelihara rumah tangganya.
Kesimpulannya, peranan seorang istri sebagai ibu rumah
tangga adalah untuk menjadikan rumah itu sebagai sakan,
yakni "tempat yang menenangkan dan menenteramkan seluruh
anggotanya." Dan dalam konteks inilah Rasulullah Saw.
menggarisbawahi sifat-sifat seorang istri yang baik yakni
yang menyenangkan suami bila ia dipandang, menaati suami
bila ia diperintah, dan ia memelihara diri, harta, dan
anak-anaknya, bila suami jauh darinya.
Sebagai ibu, seorang istri adalah pendidik pertama dan utama
bagi anak-anaknya, khususnya pada masa-masa balita. Memang,
keibuan adalah rasa yang dimiliki oleh setiap wanita,
karenanya wanita selalu mendambakan seorang anak untuk
menyalurkan rasa keibuan tersebut. Mengabaikan potensi ini,
berarti mengabaikan jati diri wanita. Pakar-pakar ilmu jiwa
menekankan bahwa anak pada periode pertama kelahirannya
sangat membutuhkan kehadiran ibu-bapaknya. Anak yang merasa
kehilangan perhatian (misalnya dengan kelahiran adiknya)
atau rnerasa diperlakukan tidak wajar, dengan dalih apa pun,
dapat mengalami ketimpangan kepribadian.
Rasulullah Saw. pernah menegur seorang ibu yang merenggut
anaknya secara kasar dari pangkuan Rasulullah, karena sang
anak pipis, sehingga membasahi pakaian Rasul. Rasulullah
bersabda,
"Jangan engkau menghentikan pipisnya. (Pakaian) ini dapat
dibersihkan dengan air tetapi apakah yang dapat
menghilangkan kekeruhan dalam jiwa anak ini (akibat
perlakuan kasar itu)?
Para ilmuwan juga berpendapat bahwa, sebagian besar kompleks
kejiwaan yang dialami oleh orang dewasa adalah akibat dampak
negatif dari perlakuan yang dialaminya waktu kecil.
Oleh karena itu, dalam rumah tangga dibutuhkan seorang
penanggung jawab utama terhadap perkembangan jiwa dan mental
anak, khususnya saat usia dini (balita). Disini pula agama
menoleh kepada ibu, yang memiliki keistimewaan yang tidak
dimiliki sang ayah, bahkan tidak dimiliki oleh wanita-wanita
selain ibu kandung seorang anak.
HAK-HAK DALAM BIDANG POLITIK
Apakah wanita memiliki hak-hak dalam bidang politik?
Paling tidak ada tiga alasan yang sering dikemukakan sebagai
larangan keterlibatan mereka.
1. Ayat Ar-rijal qawwamuna 'alan-nisa' (Lelaki adalah
pemimpin bagi kaum wanita) (QS An-Nisa, [4]: 34)
2. Hadis yang menyatakan bahwa akal wanita kurang cerdas
dibandingkan dengan akal lelaki; keberagamaannya pun
demikian.
3. Hadis yang mengatakan: Lan yaflaha qaum wallauw amrahum
imra'at (Tidak akan berbahagia satu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan).
Ayat dan hadis-hadis di atas menurut mereka mengisyaratkan
bahwa kepemimpinan hanya untuk kaum lelaki, dan menegaskan
bahwa wanita harus mengakui kepemimpinan lelaki. Al-Qurthubi
dalam tafsirnya menulis tentang makna ayat di atas:
Para lelaki (suami) didahulukan (diberi hak kepemimpinan,
karena lelaki berkewajiban memberikan nafkah kepada wanita
dan membela mereka, juga (karena) hanya lelaki yang menjadi
penguasa, hakim, dan juga ikut bertempur. Sedangkan semua
itu tidak terdapat pada wanita.
Selanjutnya penafsir ini, menegaskan bahwa:
Ayat ini menunjukkan bahwa lelaki berkewajiban mengatur dan
mendidik wanita, serta menugaskannya berada di rumah dan
melarangnya keluar. Wanita berkewajiban menaati dan
melaksanakan perintahnya selama itu bukan perintah maksiat.
Pendapat ini diikuti oleh banyak mufasir lainnya. Namun,
sekian banyak mufasir dan pemikir kontemporer melihat bahwa
ayat di atas tidak harus dipahami demikian, apalagi ayat
tersebut berbicara dalam konteks kehidupan berumah tangga.
Seperti dikemukakan sebelumnya, kata ar-rijal dalam ayat
ar-rijalu qawwamuna 'alan nisa', bukan berarti lelaki secara
umum, tetapi adalah "suami" karena konsiderans perintah
tersebut seperti ditegaskan pada lanjutan ayat adalah karena
mereka (para suami) menafkahkan sebagian harta untuk
istri-istri mereka. Seandainya yang dimaksud dengan kata
"lelaki" adalah kaum pria secara umum, tentu konsideransnya
tidak demikian. Terlebih lagi lanjutan ayat tersebut secara
jelas berbicara tentang para istri dan kehidupan rumah
tangga. Ayat ini secara khusus akan dibahas lebih jauh
ketika menyajikan peranan, hak, dan kewajiban perempuan
dalam rumah tangga Islam.
Adapun mengenai hadis, "tidak beruntung satu kaum yang
menyerahkan urusan mereka kepada perempuan," perlu
digarisbawahi bahwa hadis ini tidak bersifat umum. Ini
terbukti dan redaksi hadis tersebut secara utuh, seperti
diriwayatkan Bukhari, Ahmad, An-Nasa'i dan At-Tirmidzi,
melalui Abu Bakrah.
Ketika Rasulullah Saw. mengetahui bahwa masyarakat Persia
mengangkat putri Kisra sebagai penguasa mereka, beliau
bersabda, "Tidak akan beruntung satu kaum yang menyerahkan
urusan mereka kepada perempuan." (Diriwayatkan oleh Bukhari,
An-Nasa'i, dan Ahmad melalui Abu Bakrah).
Jadi sekali lagi hadis tersebut di atas ditujukan kepada
masyarakat Persia ketika itu, bukan terhadap semua
masyarakat dan dalam semua urusan.
Kita dapat berkesimpulan bahwa, tidak ditemukan satu
ketentuan agama pun yang dapat dipahami sebagai larangan
keterlibatan perempuan dalam bidang politik, atau ketentuarl
agama yang membatasi bidang tersebut hanya untuk kaum
lelaki. Di sisi lain, cukup banyak ayat dan hadis yang dapat
dijadikan dasar pemahaman untuk menetapkan adanya hak-hak
tersebut.
Salah satu ayat yang sering dikemukakan oleh para pemikir
Islam berkaitan dengan hak-hak politik kaum perempuan adalah
surat At-Taubah ayat 71:
"Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan,
sebagian mereka adalah awliya' bagi sebagian yang lain.
Mereka menyuruh untuk mengerjakan yang makruf, mencegah yang
munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan mereka taat
kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat
oleh Allah. Sesungguhnya Allah Mahaperkasa lagi
Mahabijaksana."
Secara umum ayat di atas dipahami sebagai gambaran tentang
kewajiban melakukan kerja sama antara lelaki dan perempuan
untuk berbagai bidang kehidupan yang ditunjukkan dengan
kalimat "menyuruh mengerjakan yang makruf dan mencegah yang
munkar."
Pengertian kata awliya' mencakup kerja sama, bantuan, dan
penguasaan; sedangkan pengertian yang terkandung dalam frase
"menyuruh mengerjakan yang makruf" mencakup segala segi
kebaikan dan perbaikan kehidupan, termasuk memberikan
nasihat atau kritik kepada penguasa, sehingga setiap lelaki
dan perempuan Muslim hendaknya mengikuti perkembangan
masyarakat agar masing-masing mampu melihat dan memberi
saran atau nasihat untuk berbagai bidang kehidupan.
Menurut sementara pemikir, sabda Nabi Saw. yang berbunyi,
"Barangsiapa yang tidak memperhatikan kepentingan (urusan)
kaum Muslim, maka ia tidak termasuk golongan mereka."
Hadis ini mencakup kepentingan atau urusan kaum Muslim yang
dapat menyempit ataupun meluas sesuai dengan latar belakang
dan tingkat pendidikan seseorang, termasuk bidang politik.
Di sisi lain, Al-Quran juga mengajak umatnya (lelaki dan
perempuan) agar bermusyawarah, melalui "pujian Tuhan kepada
mereka yang selalu melakukannya."
"Urusan mereka (selalu) diputuskan dengan musyawarah
(QS Al-Syura [42]: 38).
Ayat ini dijadikan dasar oleh banyak ulama untuk membuktikan
adanya hak berpolitik bagi setiap lelaki dan perempuan.
Syura (musyawarah) menurut Al-Quran hendaknya merupakan
salah satu prinsip pengelolaan bidang-bidang kehidupan
bersama, termasuk kehidupan politik. Ini dalam arti bahwa
setiap warga negara dalam hidup bermasyarakat dituntut untuk
senantiasa mengadakan musyawarah. Sejarah Islam juga
menunjukkan betapa kaum perempuan tanpa kecuali terlibat
dalam berbagai bidang kemasyarakatan. Al-Quran menguraikan
permintaan para perempuan di zaman Nabi Saw. untuk melakukan
bai'at (janji setia kepada Nabi dan ajarannya), sebagaimana
disebutkan dalam surat Al-Mumtahanah ayat 12.
Sementara pakar agama Islam menjadikan bai'at para perempuan
sebagai bukti kebebasan untuk rnenentukan pandangan
berkaitan dengan kehidupan serta hak untuk mempunyai pilihan
yang berbeda dengan pandangan kelompok-kelompok lain dalam
masyarakat, bahkan terkadang berbeda dengan pandangan suami
dan ayah mereka sendiri.
Kenyataan sejarah menunjukkan sekian banyak wanita yang
terlibat pada persoalan politik praktis, Ummu Hani, misalnya
dibenarkan sikapnya oleh Nabi Muhammad Saw. ketika memberi
jaminan keamanan kepada sebagian orang musyrik (jaminan
keamanan merupakan salah satu aspek bidang politik). Bahkan
istri Nabi Muhammad Saw. sendiri, yakni Aisyah r.a. ,
memimpin langsung peperangan melawan Ali bin Abi Thalib yang
ketika itu menduduki jabatan kepala negara. Dan isu terbesar
dalam peperangan tersebut adalah suksesi setelah terhunuhnya
Khalifah ketiga 'Utsman r.a. Peperangan ini dikenal dalam
sejarah Islam dengan nama Perang Unta (656 M). Keterlibatan
Aisyah r.a. bersama sekian banyak sahabat Nabi dan
kepemimpinannya dalam peperangan itu, menunjukkan bahwa
beliau bersama para pengikutnya membolehkan keterlibatan
perempuan dalam bidang politik praktis sekalipun.
Dengan ilmu pengetahuan dan keterampilan yang dimiliki oleh
setiap orang, termasuk kaum wanita, mereka mempunyai hak
untuk bekerja dan menduduki jabatan-jabatan tertinggi,
kendati ada jabatan yang oleh sebagian ulama dianggap tidak
boleh diduduki oleh kaum wanita, yaitu jabatan kepala negara
(Al-Imamah Al-Uzhma) dan hakim, namun perkembangan
masyarakat dari saat ke saat mengurangi pendukungan larangan
tersebut, khususnya persoalan kedudukan perempuan sebagai
hakim,
Dalam beberapa kitab hukum Islam, seperti Al-Mughni,
ditegaskan bahwa setiap orang yang memiliki hak untuk
melakukan sesuatu, maka sesuatu itu dapat diwakilkan kepada
orang lain, atau menerima perwakilan dari orang lain.
Atas dasar kaidah di atas, Dr. Jamaluddin Muhammad Mahmud
berpendapat bahwa berdasarkan kitab fiqih - bukan hanya
sekadar pertimbangan perkembangan masyarakat - kita dapat
menyatakan bahwa perempuan dapat bertindak sebagai pembela
maupun penuntut dalam berbagai bidang.
Tentu masih banyak lagi yang dapat dikemukakan mengenai
hak-hak perempuan untuk berbagai bidang. Namun, kesimpulan
akhir yang dapat ditarik adalah bahwa mereka adalah Syaqaiq
Ar-Rijal (saudara sekandung kaum lelaki), sehingga kedudukan
serta hak-haknya hampir dapat dikatakan sama. Kalaupun ada
perbedaan hanyalah akibat fungsi dan tugas utama yang
dibebankan Tuhan kepada masing-masing jenis kelamin,
sehingga perbedaan yang ada tidaklah mengakibatkan yang satu
merasa memiliki kelebihan daripada yang lain:
"Dan janganlah kamu iri hati terhadap apa yang dikaruniakan
Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang
lain. (Karena) bagi lelaki ada bagian dari apa yang mereka
usahakan, dan bagi perempuan juga ada bagian dari yang
mereka usahakan, dan bermohonlah kepada Allah sebagian dari
karunia-Nya, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala
sesuatu." (QS An-Nisa, [4]: 32)
***
Di atas telah dikemukakan berbagai penafsiran yang sedikit
banyak berbeda satu dengan lainnya. Hemat penulis, perbedaan
pendapat tersebut muncul karena perbedaan kondisi sosial,
adat istiadat, serta kecenderungan masing-masing, yang
kemudian mempengaruhi cara pandang dan kesimpulan mereka
menyangkut ayat-ayat Al-Quran dan hadis-hadis Nabi Saw.
Tidak mustahil, jika para pakar terdahulu hidup bersama
putra-putri abad kedua puluh, dan mengalami apa yang kita
alami, serta mengetahui perkembangan masyarakat dan iptek,
mereka pun akan memahami ayat-ayat Al-Quran sebagaimana
pemahaman generasi masa kini. Sebaliknya, seandainya kita
berada di kurun waktu saat mereka hidup, tidak mustahil kita
berpendapat seperti mereka. Ini berarti bahwa seluruh
pendapat yang dikemukakan, baik dari para pendahulu maupun
pakar yang akan datang, semuanya bermuara kepada teks-teks
keagamaan. []